|
1. Proses pembakaran
PLTSa dengan proses
pembakaran menggunakan proses
konversi Thermal dalam mengolah sampah menjadi energi.
Proses kerja tersebut dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
a. Pemilahan dan
Penyimpanan Sampah
1) Limbah sampah kota
yang berjumlah ± 500-700 ton akan dikumpulkan pada suatu tempat yang dinamakan
Tempat Pengolahan Akhir (TPA).
2) Pemilahan sampah
sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan PLTSa.
3) Sampah ini kemudian
disimpan didalam bunker yang menggunakan teknologi RDF (Refused Derived
Fuel).Teknologi RDF ini berguna dalam
mengubah limbah sampah kota menjadi limbah padatan sehingga mempunyai
nilai kalor yang tinggi.
4) Penyimpanan
dilakukan selama lima hari hingga kadar air tinggal 45 % yang kemudian
dilanjutkan dengan pembakaran.
b. Pembakaran Sampah
1) Tungku
PLTSa pada awal pengoperasiannya akan digunakan bahan bakar minyak.
2) Setelah suhu mencapai 850oC – 900oC,
sampah akan dimasukkan dalam tungku pembakaran (insenerator) yang
berjalan 7800 jam.
3) Hasil pembakaran limbah sampah akan menghasilkan gas buangan
yang mengandung CO, CO2, O2, NOx, dan Sox. Hanya saja, dalam proses
tersebut juga terjadi penurunan kadar
O2. Penurunan kadar O2 pada keluaran tungku bakar menyebabkan panas yang
terbawa keluar menjadi berkurang dan hal tersebut sangat berpengaruh pada
efisiensi pembangkit listrik.
c. Pemanasan Boiler
Panas yang dipakai dalam memanaskan boiler berasal dari
pembakaran sampah. Panas ini akan memanaskan boiler dan mengubah air didalam
boiler menjadi uap.
d. Penggerakan Turbin dan Generator Serta Hasil.
Uap yang tercipta akan disalurkan ke turbin uap
sehingga turbin akan berputar. Karena turbin dihubungkan dengan generator maka
ketika turbin berputar generator juga akan berputar. Generator yang berputar
akan mengahsilkan tenaga listrik yang
kan disalurkan ke jaringan listrik milik PLN. Dari proses diatas dengan jumlah
sampah yang berkisar 500-700 ton tiap harinya dapat diolah menjadi sumber
energi berupa listrik sebesar 7 Megawatt
2. Teknologi Fermentasi Metana
Pada tauhn 2002, di Jepang, telah dicanangkan “biomass-strategi total Jepang” sebagai kebijakan negara. Sebagai salah satu teknologi
pemanfaatan biomass sumber
daya alam dapat diperbaharui yang
dikembangkan di bawah moto bendera ini, dikenal teknologi
fermentasi gas metana. Sampah dapur serta
air seni, serta isi septic tank diolah dengan fermentasi gas metana dan diambil biomassnya untuk menghasilkan listrik, lebih lanjut panas yang ditimbulkan juga turut
dimanfaatkan. Sedangkan
residunya dapat digunakan
untuk pembuatan kompos.
Karena sampah
dapur mengandung
air
70–80%,
sebelum dibakar,
kandungan air tersebut perlu diuapkan. Di sini, dengan pembagian berdasarkan sumber
penghasil sampah dapur serta fermentasi gas metana, dapat dihasilkan sumber energi baru dan ditingkatkan efisiensi termal secara total.
Pemanfaatan Gas dari Sampah untuk Pembangkit Listrik dengan teknologi
fermentasi metana dilakukan dengan dengan metode sanitary landfill yaitu,
memanfaatkan gas yang dihasilkan dari sampah (gas sanitary landfill/LFG).
Landfill Gas (LFG) adalah produk sampingan dari proses dekomposisi
dari timbunan sampah yang terdiri dari unsur 50% metan (CH4), 50%
karbon dioksida (CO2) dan <1% non-methane organic compound
(NMOCs). LFG harus dikontrol dan dikelola dengan baik karena lanjut Beliau,
jika hal tersebut tidak dilakukan dapat menimbulka smog (kabut gas beracun),
pemanasan global dan kemungkinan terjadi ledakan gas, sistem sanitary
landfill dilakukan dengan cara memasukkan sampah kedalam lubang selanjutnya
diratakan dan dipadatkan kemudian ditutup dengan tanah yang gembur demikian
seterusnya hingga menbentuk lapisan-lapisan.
Untuk memanfatkan gas yang sudah terbentuk, proses selanjutnya adalah
memasang pipa-pipa penyalur untuk mengeluarkan gas. Gas selanjutnya dialirkan
menuju tabung pemurnian sebelum pada akhirnya dialirkan ke generator untuk
memutar turbin. Dalam penerapan sistem sanitary landfill yang perlu
diperhatikan adalah, luas area harus mencukupi, tanah untuk penutup harus
gembur, permukaan tanah harus dalam dan agar ekonomis lokasi harus dekat dengan
sampah sehingga biaya transportasi untuk mengangkut tanah tidak terlalu tinggi.